Sementara suaminya dikantor terkena marah dari atasannya, hal itu membuat shock dirinya. Sesampai di rumah, suaminya ditegur dengan mesranya oleh sang istri. 'Sayang, apa yang sedang terjadi? Ceritakan kepadaku untuk meringankan beban dihatimu.'
Wajahnya terlihat kusut, lemah lunglai dengan nada kesal suaminya menjawab, 'Mengapa kamu harus berbicara setiap saat? Apa kamu nggak bisa diam? Aku sudah bosan, aku tidak ingin mendengarkan suaramu lagi.'
Sang istri terkejut dan terpukul, hatinya tergores dan membuatnya terluka. Tak terbayangkan betapa sakitnya apa yang telah diucapkan oleh suami yang dicintainya dengan sepenuh hati. Ia berjanji untuk tidak bicara lagi dengan suaminya, 'Suamiku tidak ingin mendengarkan suaraku lagi. Aku tidak akan berbicara dengannya lagi!' Ucapnya dalam hati.
Hal itu berlangsung selama 30 tahun. Suaminya penuh penyesalan. Berulangkali ia meminta maaf namun luka hati sang istri tidak pernah sembuh. Pada saat suaminya sedang sakit keras, ia memohon agar istrinya memaafkan. 'Istriku, biarkan aku mati dengan tenang. Sekali saja ucapkan bahwa kamu telah memaafkanku.' Sang istri tidak berdaya. Ia tidak dapat lagi mengucapkan kata-kata.
Begitulah realitas kehidupan sehari-hari, hati kita mudah sekali terluka tetapi bila hati seluas samudra penuh kasih sayang tentunya luka hati akan cepat sembuh. Alangkah indahnya bila kita menghargai seseorang dengan setulus hati. Terkadang kita menghargai seseorang hanya setelah ia meninggal dunia. Kita turut berbelasungkawa dan pertemuan duka cita untuk mengenangnya. Mari kita berbuat sesuatu untuk mereka yang kita sayangi selama mereka masih hidup dengan meluaskan hati seluas samudra yang dipenuhi dengan kasih sayang. Cintailah dan maafkanlah.